Benarkah hipster menjajah kita?

Sepekan terakhir, saya intensif memutar album anyar Deafheaven “Sunbather”. Kolektif black metal asal San Fransisco, Amerika ini, meski bukan pionir, sukses mengawinkan blastbeat dengan bebunyian shoegaze dan so-called post-rock nan ranum.
deafheave.sunbather.cover_[plixid.com]

Selalu menyenangkan ketika kita berhasil menemukan album ciamik dan pantas didengar berulang kali. Perwujudan rasa gandrung ini, dalam kasus saya, berlanjut mengulik informasi apapun terkait proyek musik tersebut di dunia maya. Maka, bertamulah saya ke kediaman Om Google, mengetikkan kata kunci “Deafheaven”, lalu membaca apapun yang bisa diketahui soal latar belakang artistik duo George Clarke dan Kerry McCoy itu.

Hasil pencarian pada akhirnya mencengangkan, sebab yang lebih banyak saya temukan malah informasi betapa opini pecinta black metal terbelah. Sebagian memuji, dan tak sedikit mencaci Deafheaven berulang kali. Persis kasus maraton serapah kepada Liturgy dua tahun lalu ketika band tersebut menawarkan manifesto kesenian bertajuk “Trancendental Black Metal”.

Kembali ke Deafheaven, makian para “fundamentalis” di beberapa forum maupun laman Youtube memang jauh lebih sopan dibanding yang terlontar untuk pentolan Liturgy, si Hunter Hunt-Hendrix. Barangkali karena duo Clarke dan McCoy tak banyak ulah, seperti misalnya melakoni wawancara televisi, menceritakan panjang lebar alasan skena Black Metal perlu direformasi, dan merekalah sang penyelamat nasib musik cadas tersebut. Kalaupun punya dosa besar, salah satu bid’ah besar Deafheaven paling kasat mata barangkali manggung tanpa atribut artistik khas Black Metal, seperti simbol-simbol antikristus, mengenakan riasan mayat, dan tentu pakaian serba hitam.

“They look more like fucking grunge dudes,” kata salah satu komentator di laman video konser mereka.

Kemudian, yang paling mengusik perhatian saya adalah fakta bahwa tak cuma satu dua komentator mengatai Deafheaven sebagai puncak gunung es penjajahan hipster atas Black Metal.

Salah satu tesis utamanya, akibat ekperimentasi Krallice di album “Dimensional Bleedtrough” (2009), skena Black Metal Eropa dan Amerika (terutama di New York) kini dijajah anak-anak muda burjuis. Mereka tidak menghargai sejarah panjang aliran musik ini, mengabaikan estetika lo-fi, tak lagi membahas paganisme, serta dosa terbesarnya, menggabungkan sound blastbeat dengan corak suara lebih abrasif, tekstural, dari genre musik lain. Khususnya shoegaze 90-an awal.

Korban cacian para “purist” ini bukan hanya deretan musisi “hipster/shoegaze black metal”, namun juga penulis kredibel seperti Sasha Frere-Jones yang mendokumentasikan kebangkitan tradisi sempalan baru di tubuh Black Metal pada 2011.

Jika ingin menengok kebencian paling rigid pada para “hipster black metal” itu, pembaca bisa tengok laman blogspot waldemardaninskyjr. Di situ, bercokol karakter bermulut keji penuh humor sarkastik bernama “The Angry Black Metal Elitist”. Dia khusus memberi fatwa, album black metal mana yang sampah lantaran mengikuti arus “hipsterisasi skena”. Tak cuma musisi Amerika, termasuk Varg Vikerness pun, sang ikon, kena semprot habis-habisan.

“… whatever you want to call them, they are America’s plague and are quickly spreading all over the globe. One thing is for certain, I will not give up the fight against these wanna-be homeless ‘musicians’,” tulis si Angry Black Metal Elitist berapi-api.

Maka, disusunlah definisi komplet soal siapa musuh kaum yang tulus ingin menegakkan bendera khilafah Black Metal. Berikut ini ciri-ciri manusia pantas dirajam karena mengaku-ngaku mengusung musik black metal:

1. Mereka sebelumnya tidak punya rekam jejak di skena Black Metal. Kalaupun musisi, maka mereka berada di aliran yang sangat jauh hubungannya dengan black metal. Dubstep misalnya.

2. Ketertarikan utama mereka pada black metal, bukan disebabkan pada estetika. Melainkan karena hipster secara alamiah beraktivitas laiknya parasit. Selalu mencari subkultur yang tidak terendus arus utama, untuk kemudian digauli, diobrak-abrik, lantas ditinggalkan ketika popularitas mulai menyentuhnya. Black metal dengan segala serba-serbinya merupakan “korban” yang pas.

3. Kaum hipster adalah anak orang kaya yang tertarik pada segala hal yang sulit mereka dapatkan. Khususnya musik obscure.

4. Tunggu apalagi, segera bersihkan anasir hipster dari skena yang kita cintai. Sebelum Black Metal tersedot saripatinya, dan jadi korban kaum hipster kesekian setelah garage rock, punk, dan hip hop.

Segepok definisi tersebut meyakinkan saya, bahwa hiruk pikuk wacana di dunia black metal, sebetulnya replika atas apa yang masih juga terjadi di banyak dimensi kebudayaan kiwari. Bahwa sebagian pihak, khususnya yang percaya bahwa dirinya lebih murni, sedang terancam dengan penetrasi kelompok lain. Terutama, pendatang baru yang mengandalkan informasi Internet sebagai pemandu perjalanan mereka melintasi pelbagai situs kebudayaan.

Generasi yang lahir pada era 80-an, tumbuh besar ketika infrastruktur multimedia semakin meraksasa, kini mewujudkan nubuat Marshall McLuhan pada 1963, “Komputer bakal menjadi alat meneliti dan mengakses segala informasi, memberdayakan kemampuan mengorganisasikan data perpustakaan dan ensiklopedik, ke tangan individu”.

Ketika ideologi besar, misalnya analisis Zizek pada wajah manusiawi kapitalisme, dapat kita akses sambil mengerjakan audit neraca klien dan makan pisang goreng, maka nasib tak jauh beda menghampiri isme-isme yang lebih kecil. Tak terkecuali black metal.

Dan lebih jauh lagi, moralitas yang coba dijaga oleh The Angry Elitist Black Metal dan siapapun yang sepaham dengannya, mengarah jadi perwujudan lain Taliban dalam dosis berbeda. Atau jika ingin lebih terasa kontemporer dan lokal, menyerupai twit-twit Hafidz Ary dan Felix Siauw; wagu dan kontraproduktif.

Sepanjang saya tahu, black metal adalah salah satu cabang metal yang secara natural seharusnya bersahabat dengan bebunyian gitar mengawang lantaran mengedepankan atmosfir. Berbeda dari death metal, misalnya, yang sangat menonjolkan ritme. Lagipula, bukankah black metal juga lahir dari proses dialektika serupa di akhir 1980-an ketika beberapa orang Norwegia bereksperimen dengan trash.

Maka mengkafirkan hipster, meskipun lebih menyeruakkan nuansa getir dan lucu, persis tudingan serius terhadap setiap “anak kemarin sore” saat menginterpretasikan ulang pelbagai budaya mapan. Problem kafir mengkafirkan ini anasir laten yang sudah berulang kali terjadi, jauh lebih tua dari momen Yesus pulang menziarahi India.

Persoalannya, kita yang sementara ini berjarak dari perdebatan bisa sangat mudah terperosok di lubang serupa.

Karenanya harus dibedakan, telaah yang telaten pada kualitas sebuah karya seni, dengan cemooh asal jadi hanya karena seseorang melintasi pakem.

Toh saya pribadi percaya, tidak semua dialektika patut didukung. Misalnya sinetron dengan naskah buruk mencampurkan legenda rakyat dengan piranti modern di televisi nasional kita, atau evolusi grup idola yang kini memaksa penggemarnya semata mengonsumsi tak hanya album, namun juga jabat tangan berbiaya ratusan ribu rupiah dengan si idola di kafe mahal.

Pertanyaan terbesar yang kini semestinya dijawab adalah: bagaimana cara seseorang menjaga prinsip. Entah itu ideologi, estetika, hingga iman, sembari tetap membuka ruang untuk dialog.

Dalam budaya masa kini, ketika setiap manusia mampu berbagi nyaris apapun, seperti diwartakan kebangkitannya oleh Lawrance Lessig, cukup aneh ketika menutup pintu rapat-rapat dari semua eksperimentasi menjadi satu-satunya jawaban.

Apalagi ketika teknologi di zaman kita hidup sekarang mengizinkan seseorang mendengar Mela Barbie, Burzum, Television, Janet Jackson, Jedi Mind Trick, dan A Rianto dalam playlist yang sama.

Saya pribadi merasa hidup kini semakin kaya warna lantaran bisa mengenal estetika black metal, mempelajari apa semangat rekan-rekan dari skena tersebut.

Hal ini barangkali mendekati musykil pada satu dekade lalu, ketika untuk berkenalan dengan Venom atau Darkthrone, saya harus berinvestasi cukup banyak baik dalam materi dan waktu buat mencari rilisan fisik atau sekadar majalah yang mengulas informasi mengenai skena tersebut.

Sama seperti ketika saya kini lebih mudah mengenal apa yang sebetulnya dipercayai rekan-rekan
syiah, sikh, atau evangelis. Sebagian mengelaborasikan informasi baru ini dengan prinsip mereka, sebagian lagi menolaknya mentah-mentah karena tidak sepakat, sebagian mendiamkannya saja.

Lepas dari pilihan sikap itu, seharusnya tidak ada lagi prasangka berlebihan. Dalam kasus black metal, saya tentu di masa depan tak akan menelan mentah-mentah informasi dangkal bahwa penggemar musik ini melulu orang yang menolak nilai-nilai kristiani dan gemar membakar gereja.

Sembari tetap memutar Deafheaven, terutama track “Vertigo”, saya mendadak ingat pernah mencemooh gegap gempita konser Sigur Ros di Tanah Air tempo hari.

Menyadari betapa kesilapan dan kepongahan mudah memelesetkan manusia, saya pilih mempercayai pendapat Antoine de Saint-Exupéry.

Sastrawan Prancis ini tegas menyatakan, “…mereka yang berbeda, tak akan menggerus eksistensiku, sebaliknya, mereka justru memperkaya diriku”.

Demikian.

1 comment

Leave a comment