Orang Saleh yang Memilih Masuk Neraka

Pria saleh kebingungan, pagi hari itu. Putri yang ia sayangi menghilang begitu saja saat bermain di luar rumah. Pria saleh mengira anaknya tersesat, tapi dia meragukan pemikirannya sendiri.

Bukankah mereka tinggal di udik. Hanya ada empat rumah lain di sekitar kediamannya dan selama hidup di sana 34 tahun terakhir, si pria saleh tahu tak banyak orang bisa tersesat di tengah padang rumput kecuali orang-orang asing.Dua psikopat

Kekhawatiran di hati pria saleh terus berkecamuk. Seperti yang biasa dilakukan, dia pun pilih berembuk dengan Tuhan. “Yesus Maha Kristus, hindarkan diriku dan anakku dari percobaan,” ujarnya lirih berulang-ulang.

Sayang, tak sampai tiga malam, pria saleh mendapat balasan atas doanya.

Putrinya sebenar-benarnya menghadapi ujian. Jenis cobaan sekali seumur hidup: sebuah sayatan setengah melingkar di leher membuatnya tak bisa lagi bertemu orang-orang yang dia sayangi di dunia. Mayat anak pria saleh ini digeletakkan begitu saja di jalan setapak perbukitan, lumayan jauh dari kediaman sang pria saleh bersama anak perempuannya yang biasanya damai.

Selepas berkabung sejenak, di hadapan mayat putrinya yang masih bersimbah darah, pria saleh hanya memikirkan satu hal. Sayatan ini tidak datang tiba-tiba ditorehkan malaikat maut. Utusan Tuhan itu merenggut anak perempuan kesayangannya lewat tangan manusia dan pria saleh akhirnya gamang. Sebab dia percaya malaikat tidak pernah minta bantuan saat bekerja.

Dia lantas berikrar menyelesaikan urusan dengan siapapun yang mengira dirinya bisa mewakili tugas malaikat di muka bumi.

 

 
++++++++++++++++++++++++++++++

 

 

Di sebuah apartemen kumuh pinggiran kota yang tak perlu disebutkan namanya, pemuda 17 tahun itu terdiam menatapi tembok dipenuhi cipratan darah. Dia gelisah, sambil memegangi pisau daging besar.

Wajah perempuan-perempuan mungil yang dia gorok muncul satu per satu di tembok kamarnya. Mereka tidak menampakkan wajah marah, sebaliknya, tatapan para korban jelas-jelas perasaan iba pada si pemuda.

Dia tidak tahan lagi, berjam-jam diberi perasaan iba yang aneh dari arwah para korbannya.

Pemuda itu membanting pisau dagingnya, dan berjalan langsung ke kantor polisi. Dia mengungkapkan semua kebejatannya. Meski belum genap 18 tahun, lelaki ini mengaku siap menerima semua kemungkinan. Di hadapan polisi, lantas jaksa, berlanjut hakim dan majelis juri, dia tegas meminta dihukum mati.

Atas kejujurannya, pemuda itu hanya mendapatkan hukuman seumur hidup.

Dia kecewa, publik dan pers yang mengikuti kasus pembunuhan itu kecewa, dan tentu saja yang paling kecewa adalah seorang pria saleh berbaju hitam, bertopi hitam, yang duduk di bangku paling belakang, setelah menyempatkan diri menempuh ratusan kilometer dari udik ke kota buat melihat pembunuh putrinya mendapat hukuman setimpal.

 

 
++++++++++++++++++++++++++++++++++++

 

 
Di penjara, pemuda keji menemukan Tuhan. Dia baca firman-firman-Nya tanpa henti. Pagi, siang, sore, malam, tanpa memedulikan tahanan lain. Dia tak pernah lagi melihat wajah-wajah korban memandangnya iba. Hatinya bahagia.

Pernah suatu kali, dia berurusan dengan seorang tahanan baru yang dipindahkan sekamar. Seorang penjahat kambuhan dan tertarik mendengar kisah hidupnya sebagai mantan pembunuh anak kecil.

Tahanan baru itu meludahi wajah pemuda keji saat asyik mendalami alkitab. Berharap bisa merasakan kemarahan seorang pembunuh berantai yang bakal memacu adrenalinnya.

Sang pemuda, lantaran telah menemukan dan meresapi ajaran Tuhan, hanya memandang sekilas dan tersenyum. Hal itu mereka lakoni berulang-ulang setiap hari, selama setahun. Sang tahanan residivis suatu malam tak kuat lagi. Dia menangis meraung-raung pada sipir agar dipindahkan ke penjara lain, ke manapun boleh, asal dia tak lagi harus berada satu sel dengan seorang pria dewasa yang mengimani ajaran Tuhan.

Berkat Tuhan pula, tak sampai 17 tahun sang pemuda yang kini telah dewasa dan mengimani cinta kasih Tuhan diminta angkat kaki dari penjara.

Dia bebas, bersyukur, namun dia selalu ingat, seorang pria berbusana serba hitam – ciri khas seorang saleh asal udik – terus menunggunya di seberang pintu keluar penjara sejak hari pertama dia dijebloskan di dalamnya.

Pada malam pembebasan itu, dia tidak melihat siapapun berdiri di sana.

 

+++++++++++++++++++++++++++++++++++

 

 
Pria dewasa yang telah menebus kekejiannya di masa muda kini mengontrak apartemen murah, bersiap menempuh hidup baru di kota. Benda pertama yang dibelinya sekeluar bui adalah salib besar untuk dipasang di dinding kamar.

Namun, dia tidak percaya pria saleh dari udik melepaskannya begitu saja. Dia mengintip ke jendela, memeriksa apakah dendam pria saleh masih tersisa. Tidak ada siapapun di pinggir jalan, di bawah apartemennya.

Di malam pertamanya tidur sebagai manusia baru, seseorang memasuki kamar. Penyusup ini memperhatikan mantan pemuda yang dulu merenggut nyawa putrinya semena-mena memejamkan mata, damai, sambil memegang erat sebuah rosario. Puas memandangi pria itu, sang penyusup sengaja keluar kamar sambil membanting pintu.

Pria dewasa yang kini teguh memegang iman itu terbangun, segera menengok jendela, dan di seberang apartemen, berdiri pria saleh asal udik memandang tajam dirinya sambil menghisap sebatang sigaret. Mereka saling berpandangan sampai subuh tiba.

Sejak kejadian malam itu, pria dewasa yang dulunya seorang keji ini terus melihat bayangan pria saleh asal udik di manapun dia berada.

 

 
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

 

 
Sebelas tahun berlalu sekeluar mantan pemuda itu dari penjara. pria dewasa yang pernah menjalani hidup sebagai bajingan tengik pembantai anak-anak tidak kuat lagi menghadapi bayangan sang pria saleh gigih menghantuinya.

Pria yang menaruh dendam padanya itu tak pernah menyapa, tidak pernahsekalipun mengancam. Dia hanya selalu ada di luar apartemen, memandang jendela kamar pembunuh putrinya yang tidak berdosa setiap hari mulai malam sampai pagi menjelang.

Pria dewasa yang memegang teguh iman itu, dalam kekalutan di tengah malam yang sama, membaca firman Tuhan. Satu firman menyergap perhatiannya, “Hanya ada satu jenis manusia yang dijanjikan Tuhan akan langsung masuk neraka. Bukan pembunuh, bukan pemerkosa, melainkan mereka yang mati menggunakan tangannya sendiri”.

Dia memandang keluar jendela, dan pria saleh dari udik seperti malam-malam lainnya sebelas tahun terakhir, berada di seberang apartemen, memandangnya tajam sambil menghisap sigaret.

Maka mantan pemuda keji yang kini memegang teguh iman memutuskan mengikuti firman Tuhan agar lepas dari dendam yang enggan melepasnya itu. Diambilnya sebuah pisau cukur untuk menggorok lehernya sendiri.

Pria dewasa yang telah beriman sadar, satu-satunya cara meninggalkan dendam membara itu adalah hengkang ke dasar neraka terdalam. Paling tidak, tatapan tajam pria saleh udik itu tidak perlu lagi dia hadapi setiap malam. Bukankah orang saleh bakal pergi ke surga, bukan ke neraka.

Itu gagasan yang baginya sangat indah daripada hidup sebagai manusia baru tapi masih dilekati dendam karena dosa besar di masa lalu.

Dan mantan pembunuh itu benar-benar pergi ke neraka ketika darah muncrat dari lehernya. Dia menghabisi dirinya, dengan tangannya sendiri sambil memandangi pria saleh udik di luar jendelanya.

Di seberang apartemen, sambil terus memandangi jendela di lantai tiga itu, pria saleh dari udik menggelengkan kepala. Dia menatap tajam-tajam wajah mantan pembunuh putrinya yang masih menampakkan sedikit tanda kesadaran.

Dari saku bajunya yang serba hitam, pria saleh asal udik mengeluarkan pisau cukur, dan turut menggorok lehernya sendiri. Selesai membuat darah mengucur deras yang perlahan menghilangkan kesadarannya, pria saleh menghisap batang sigaret terakhir sambil tersenyum puas.

Jika dendamnya tak bisa terus memburu lelaki itu di dunia, seperti yang pernah dia ikrarkan, maka pria saleh tak keberatan buat mengejar sang pembunuh putrinya sampai ke lorong-lorong kerak neraka.

 

Dan malam berangsur-angsur semakin menua, saat dua pria saleh memutuskan masuk neraka.

 

 
*Disclaimer:

Kisah ini saya adaptasi bebas dari fragmen “The Quacker Psychopath” yang sangat menonjol dalam film arahan sutradara/dramawan Irlandia Martin McDonagh “Seven Psychopath” (2012). Sebuah film tentang tujuh psikopat dengan problemnya masing-masing dalam benak seorang penulis skenario yang sedang buntu ide.

Bila ingin mengikuti perjalanan kreatif seorang McDonagh yang kerap membahas kekerasan dan absurditas penyucian dosa ala Katolik, sila menyaksikan juga karya-karya sinemanya yang terdahulu “Six Shooter” (2005) dan “In Bruges” (2008),  atau naskah dramanya “The Pillowman” (2003).

7 comments
  1. nur said:

    wow yan, keren banget ya…in some parts i feel like i want to cry. don’t know why.

  2. sungguh aneh…
    tapi, siapa yang mau baca bacaan biasa…
    cool..

  3. Wuasyu!!! Komentara macam apa lagi yang diperlukan dari naskah ini? Sudah. Apik, itu saja.

  4. Epifani si pembunuh yang akhirnya mengakui bahwa dia membunuh banyak anak itu kurang menggigit euh. Gapnya dalem banget antara dia yang awalnya sering membunuh sampai akhirnya nggak kuat lagi. Masalahnya, semua korban si pria itu dipukul rata. Ngga ada keistimewaan deskripsi mengenai korban yang membuat seorang pembunuh kambuhan langsung mau menyerahkan diri gitu.
    Atau, kalau faktor pendorongnya bukan dari segi korban, melainkan dari dirinya sendiri yang memang ngga kuat lagi tersiksa melihat mata korban, ya harusnya lebih dieksplor lagi apa faktor X yang begitu kuat itu. Ya mungkin tarik ulur masa lalu dan logika/perasaan saat ini, misalnya.
    Errrr, tapi pendapatku ini juga didasari oleh konstruk criminal minds sih. Aku berharapnya si pembunuh itu ngga berhenti membunuh sampai dia melakukan kesalahan terus ditangkap deh sama pak ogah. heu.
    Ah, satu lagi, itu karakter si tahanan baru antara perlu dan ngga perlu deh. Satu-satunya yang membuat dia diperlukan adalah fungsinya sebagai pembukti bahwa si pria pembunuh itu sudah insaf dan mampu mengendalikan emosi. Ya ngga apa-apa, sih, tapi jadi terlalu dangkal aja karakter keduanya. Beda sama hubungan si pria pembunuh dengan bapak korban. Dengan kesunyian relasi tersebut, justru karakter keduanya makin kuat. Pendalaman perasaannya tuh dapet banget di situ.

    Tapi cerita di atas baguuuuusss koookkkkk *pendapat subyektif karena terlibat hubungan asmara*

  5. ” Dengan kesunyian relasi tersebut,”
    harusnya aku ngga usah pakai kata “tersebut” di situ.
    Maap.
    Harusnya,
    “Dengan kesunyian relasi yang diceritakan di atas, justru karakter keduanya makin kuat”

  6. sama saja kayak seorang romo yang jatuh cinta pada biarawatinya *eh ini kagak nyambung ya :p

Leave a comment