Archive

coretan

This gallery contains 1 photo.

Sepekan terakhir, saya intensif memutar album anyar Deafheaven “Sunbather”. Kolektif black metal asal San Fransisco, Amerika ini, meski bukan pionir, sukses mengawinkan blastbeat dengan bebunyian shoegaze dan so-called post-rock nan ranum. Selalu menyenangkan ketika kita berhasil menemukan album ciamik dan pantas didengar berulang kali. Perwujudan rasa gandrung ini, dalam kasus saya, berlanjut mengulik informasi apapun …

Read More

This gallery contains 1 photo.

    Teruntuk Bung Roger Ebert almarhum,   Tentu saya naif bila menyatakan kita berdua tidak saling kenal-mengenal. Apalagi kalau saya harus menggarisbawahi bung sudah wafat, sementara saya masih terus hidup. Lucunya, dua hal naif itu perlu saya sebutkan di awal surat karena dua alasan. Pertama, faktanya saya mengenal bung lho, tentu saja lewat tulisan-tulisan …

Read More

This gallery contains 1 photo.

Pria saleh kebingungan, pagi hari itu. Putri yang ia sayangi menghilang begitu saja saat bermain di luar rumah. Pria saleh mengira anaknya tersesat, tapi dia meragukan pemikirannya sendiri. Bukankah mereka tinggal di udik. Hanya ada empat rumah lain di sekitar kediamannya dan selama hidup di sana 34 tahun terakhir, si pria saleh tahu tak banyak …

Read More

Saya berhenti menyimak radio arus utama, sepertinya sejak tujuh tahun lalu. Ada beberapa alasan mengapa pilihan itu akhirnya diambil. Pertama, saya semakin mengakrabi sumber informasi lain buat mencari dan mengunduh musik ilegal, yaitu Internet. Kedua, pemutar musik digital seakan memberi saya kekuasaan lebih menentukan apa yang ingin didengar. Kendali ini bahkan lebih cepat dan variatif …

Read More

This gallery contains 1 photo.

Tulisan ini pertama kali diunggah sebagai catatan di Facebook tanggal 10 November 2010. Kutarik ke blog sebagai penghormatan buat 15 tahun meninggalnya Jeff Buckley yang jatuh hari ini. Sementara tulisan ini dulu, karena aku belum persiapan membuat esai khusus tentangnya. Pendapatku soal Buckley bisa dibaca pada tiga paragraf terakhir. Salam! Aku sebetulnya tertawa sendiri membaca …

Read More

Setiap manusia diam-diam mencintai kekerasan. Sebabnya jelas, kekerasan adalah realitas di manapun. Termasuk Indonesia. Itu sebabnya, barangkali, kita merayakan leher ditebas, mata dicungkil, atau kaki dipatahkan di film-film. Sampai di zaman yang konon modern ini, kita tetap menghayati masokisme, meski berkedok masyarakat beradab. Kita menikmati kenyataan brutal sehari-hari dalam wujud hiperbolis, salah satunya lewat film. Buktinya, ‘The Raid’ jadi film tersukses tahun ini di tanah air, meraup lebih dari 1,8 juta penonton.

Kalau kita amati, film laga tak pernah kehilangan basis penonton. Genre ini selalu ditunggu. Bahkan, rasanya bicara film tidak lengkap kalau belum membahas aksi kejar-kejaran, efek khusus ledakan, sampai koreografi pukul-memukul.

Setelah membandingkan kompilasi pendapat penggemar film dari segala penjuru, termasuk pengalaman sinematik pribadi, saya usulkan urutan tujuh adegan pertarungan paling dahsyat dalam sinema hingga saat ini.

Mengapa pertarungan? Sebab lewat pertarungan, kekerasan paling subtil terwujud. Benturan dua pihak, dengan posisi dan kepentingan berbeda, terjadi secara vulgar.

Ketujuh adegan ini, bagi saya, mampu menciptakan estetika tersendiri. Tentu saja jenis keindahannya berbeda dari lukisan naturalis dua gunung, sawah, plus matahari mengintip di ufuk.

Melalui balutan gagasan segar, tujuh adegan film berikut menimbulkan rasa ngeri, jijik, muak, atau bahkan keasyikan bagi penonton. Tidak cuma jadi ikon kebudayaan, deretan pertarungan terpilih berikut rasa-rasanya melampaui status representasi budaya pop.

Daftar ini saya anggap upaya awal merenungi hakikat kekerasan, terkhusus pertarungan. Saya percaya perkelahian, apalagi yang diolah dalam wujud sinema, kadang tidak memadai dianggap sekadar perkara seseorang menghajar orang lain.

Selamat menikmati daftar subyektif ini. Bila tak sepakat, sila sertakan pendapat anda pada kolom komentar. Mari bertukar hasrat kekerasan. Mari merayakan pertarungan terdahsyat di sinema.

Read More

“…audience film di Indonesia masih sangat muda. Dengan kata lain, agak konyol jika ada orang bilang dia bikin film tertentu untuk mengikuti selera pasar, karena pasarnya saja belum ada, apalagi seleranya.”

Demikian urai Joko Anwar pada eseinya di Majalah Rolling Stone Indonesia November 2010. Ia sedianya membahas benturan klasik antara komersialisme dan idealisme dalam industri sinema tanah air. Dari keseluruhan esei pendeknya, argumen yang terkutip di ataslah yang paling menggugah. Sejenis pernyataan yang menghunjam akar perdebatan tak kunjung usai mengenai ‘pasar’ di dunia seni populer, tak terkecuali film.

Menonton film merupakan proses final dari mata rantai industri sinema. Pada imaji sang pembuat maupun para penyandang dana, aktivitas menonton lazimnya diandaikan sebagai pengalaman sosial. Itulah mengapa istilah ‘penonton’ selalu bersifat jamak. Jarang sekali film diniatkan menjadi ‘seni kamar’, mengacu pada terminologi khas cabang kesenian lain, seperti ‘musik kamar’ ataupun ‘puisi kamar’. Berangkat dari pra-andaian bahwa film tidak ditujukan bagi pengalaman individual, maka kumpulan penonton segera diandaikan menjadi bagian dari abstraksi bernama ‘pasar’. Read More

“Kami, orang-orang lawas dari kalangan pegiat musik Seattle, memiliki candaan tersendiri. Yaitu memlesetkan perumpamaan klasik ‘uang mengubah segalanya’, menjadi ‘Nirvana mengubah segalanya” – Steve Fisk dalam Hype! (1996)

Ikon kultural sejati tidak membutuhkan catatan terlampau spesifik untuk menegaskan posisi mereka di ranah kebudayaan populer. Terlebih bila bukti-bukti kebesarannya sudah berserak di mana-mana. Maka dengan itu, Nirvana, atau mungkin khususnya Kurt Cobain, merupakan salah satu dari sedikit ikon yang boleh dikatakan sejati.

Silahkan cek banyak kamar kos pemuda tanggung dan mahasiswa. Amat lumrah di dinding kamar-kamar tadi terpampang poster – dari murahan sampai lux – bergambar Cobain dalam pose close up termenung yang kondang itu. Kadang, turut terpajang poster berfomat trio lengkap (meskipun penggemar awam kadang tak tahu beda antara foto Nirvana versi bersama Chad Channing atau Dave Grohl, yang penting itu poster trio Nirvana lengkap).

Sedemikian berhasilnya ikonositas Nirvana (atau lebih tepatnya Kurt), sampai-sampai tidak penting lagi apakah si empunya gambar seorang fans Nirvana atau tidak. Begitulah cara ikon beroperasi. Ia melampaui aktualitas. Ia tidak membutuhkan sebuah konfirmasi empiris dengan pihak yang mencoba direpresentasikan olehnya. Begitu halnya nasib Che Guevara atau Bob Marley di dunia reproduksi gambar. Sama belaka. Read More

“Beruntunglah mereka yang mati muda”

Masih bisakah idiom Yunani klasik itu dipertahankan?

Sejak awal seharusnya semua orang tahu, bahwa ia tidak dapat dihentikan. Atau tepatnya, hanya ia sendiri yang tahu, kapan saatnya ia berhenti melakukan hal-hal yang ia cintai. Karena itu ukuran beruntung maupun tidak beruntung kurang tepat dipakai menakar kecintaan. Sebuah kecintaan yang terbangun sejak sang ayah, Mithcell Winehouse si sopir taksi, mengajarinya berdendang lagu-lagu Frank Sinatra di usia balita.

Bahkan guru-gurunya di Sekolah Dasar Southgate, wilayah London Utara, tahu persis sebuah fakta. Setiap kali mereka memintanya berhenti bernyanyi di kelas, seketika juga perintah tadi terasa sia-sia. Sebab, Amy akan semakin keras bernyanyi, seakan tiada lagi hari esok.

Barangkali tindakan masa kecilnya merupakan nubuat, sebab kini faktanya memang tidak ada lagi hari esok bagi Amy Winehouse untuk berkarya.

Sekali lagi, kombinasi antara angka 27 dan mitos seputar kematian musisi berbakat terjalin di sebuah titik temu. Dan lagi-lagi, media berjasa besar mengantarkan manusia-manusia separuh mitos tersebut, menemui takdirnya.

Tanpa liputan besar-besaran tabloid-tabloid gosip Inggris periode 2007-2009, nyaris mustahil kita mendapatkan citraan sosok seorang Amy. Read More